6 Cerita Rakyat Dari Kalimantan Barat Dan Pesan Moralnya

Cerita Rakyat Dari Kalimantan Barat – Wilayah Provinsi Kalimantan Barat, memiliki julukan sebagai “Provinsi Seribu Sungai”.

Itu karena letaknya yang memang dikelilingi oleh ratusan sungai yang membelah berbagai kota dan sudut serta tersebar merata hampir disemua wilayah di Kalbar.

Selain itu, provinsi Kalbar ini juga menyimpan cerita rakyat yang cukup terkenal, terutama bagi masyarakat setempat.

Banyak cerita Rakyat Kalimantan Barat yang perlahan mulai dilupakan dengan dongeng atau cerita modern.

Padahal banyak sekali pesan dan moral yang terkandung didalam cerita rakyat Kalbar ini dan tentunya harus kamu ketahui.

Baca Juga:

Cerita Rakyat Dari Kalimantan Barat

Nah, apa sajakah 6 cerita rakyat dari Kalimantan Barat yang memiliki pesan moral di dalamnya? Yuk, kita lihat ulasannya di bawah ini.

1. Asal Mula Sungai Landak

Sungai Landak - Cerita Rakyat Dari Kalimantan Barat

Sungai Landak – Cerita Rakyat Dari Kalimantan Barat

Cerita Rakyat Dari Kalimantan Barat yang pertama adalah cerita tentang Sungai Landak. Di sebuah desa, tinggallah sepasang suami istri, yang bekerja sebagai petani.

Walaupun hidup sederhana, mereka terkenal ramah, dan suka membantu para tetangganya.

Suatu malam, sang suami tidak bisa tidur karena hatinya sedang gelisah. Saat itu pula, dia melihat seekor lipan, keluar dari kepala istrinya yang sedang tertidur. Lipan itu merayap turun dan keluar dari rumah. Merasa penasaran, dia pun mengikutinya

Lipan tersebut masuk ke sebuah lubang kecil di dekat rumahnya, dan tidak pernah keluar lagi. Keesokan paginya, dia menceritakan kejadian aneh itu kepada istrinya.

Suami istri itu pun  memeriksa sekali lagi, tempat lipan itu menghilang. Sang suami merogohkan tangannya ke dalam lubang, dan  merasakan tangannya menyentuh sesuatu. Seketika itu pula, dia menarik benda tersebut. 

Mereka terkejut bukan main, karena mendapatkan sebuah patung landak yang terbuat dari emas, yang akhirnya dibawa pulang.

Malamnya, petani itu bermimpi, ada seekor landak emas raksasa yang mendatanginya. Landak itu meminta, agar dapat tinggal bersamanya. 

Dan sebagai imbalan, sang Landak akan mengabulkan segala permintaan si petani, hanya dengan mengelus dan membaca mantra. Landak raksasa itu pun mengucapkan mantra tersebut, dan sang petani menghafalkannya dalam hati.

Paginya, ia terbangun dan menceritakan hal tersebut kepada istrinya, lalu mencoba mengusap kepala patung landak tersebut, sambil mengucapkan mantra.

Lalu  Dia pun berkata, “berikan aku beras yang banyak,” dan menutupnya lagi dengan mantra.

Secara ajaib, butiran beras mengalir deras dari mulut patung landak tersebut. Kemudian petani tersebut mengulangi membaca mantra, kemudian meminta perhiasan. Dan sekali lagi, permintaan tersebut pun terkabul.

Hingga akhirnya, suami istri tersebut pun menjadi kaya raya. Mereka juga berbagi kepada semua tetangganya, sehingga kehidupan penduduknya menjadi lebih baik.

Kekayaan si petani akhirnya memancing seorang perampok untuk datang mengintai, hingga  akhirnya  mengetahui dari mana asalnya kekayaan tersebut. 

Malam harinya, perampok tersebut ia berhasil mencuri patung tersebut dan membawa ke desanya yang bernama Desa Ngabang.

Saat itu, desa tersebut sedang dilanda kekeringan, hingga tidak lagi memiliki kebutuhan air.

Dengan keyakinan, sang perampok mengusap patung itu dan membaca mantra seperti yang dia dengar di rumah petani. Seketika saja, air deras menyembur dari mulut patung, hingga warga berteriak kegirangan

Namun, air tersebut tidak dapat berhenti mengalir, dan akhirnya menenggelamkan seluruh penduduk Desa Ngabang, yang kemudian menjadi sungai besar.

Oleh masyarakat setempat, sungai tersebut dinamai Sungai Landak, yang mengalir di tengah-tengah Kota Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

Pesan moral dari cerita ini adalah, janganlah menjadi orang yang sombong dan serakah, karena akan membawa petaka.

2. Asal Usul Sungai Kawat

asal usul Sungai Kawat

asal usul Sungai Kawat – foto daerahkita.com

Seorang nelayan miskin pergi mencari ikan di sungai, agar keluarganya bisa makan. Hingga larut malam, dia masih belum mendapatkan ikannya.

Ketika hendak kembali, tiba-tiba ia merasa ada yang menarik pancingnya. Dia pun berpikir, bahwa ada ikan besar yang telah tertangkap.

Dengan perlahan ia menarik pancingnya, ternyata di ujung pancingnya hanya tersangkut seutas kawat.

Namun keanehan terjadi, karena kawat tersebut bersinar kekuningan, ketika tertimpa cahaya bulan purnama. Dia berteriak kegirangan, ketika menyadari kawat tersebut terbuat dari emas, hingga terus menggulungnya.

Tanpa dia sadari, gulungan itu semakin memberatkan perahunya. Sampai tiba-tiba ada suara peringatan dari dalam sungai, yang memerintah sang nelayan untuk berhenti menggulung kawat itu. Namun, keserakahan telah merasuki si nelayan, sehingga terus menggulungnya.

Lama-kelamaan perahunya oleng karena beban yang semakin berat, hingga air sungai mulai masuk ke dalam perahu. Si nelayan baru menyadari kesalahannya, namun perahu itu sudah terlanjur terbalik, dan tenggelam ke dasar sungai, bersama tubuhnya.

Sejak  saat itu, masyarakat setempat menyebut sungai itu menjadi Sungai Kawat yang merupakan salah satu anak dari Sungai Kapuas.

Pesan moral dari cerita ini adalah, bahwa keserakahan akan selalu berakhir buruk, dan dapat merugikan.

3. Kisah Bujang Beji

Bujang Beji -Cerita Rakyat Dari Kalimantan Barat

Bujang Beji – Cerita Rakyat Dari Kalimantan Barat

Cerita Rakyat Dari Kalimantan Barat selanjutnya adalah cerita tentang Bujang Beji. Dahulu kala, hiduplah dua orang  nelayan, yang bernama Bujang Beji dan Tumenggung Marubai. Kedua orang itu  memiliki sifat yang sangat bertolak belakang. 

Tumenggung Marubai adalah orang yang baik hati dan tidak sombong. Sementara ,Bujang Beji merupakan orang yang sakti, tapi serakah dan sombong. 

Saat mencari ikan, keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri. Tumenggung Marubai mencari ikan di Sungai Simpang Melawi, sedangkan Bujang beji di Sungai Simpang Kapuas.

Wilayah Sungai Simpang Melawi mempunyai banyak sekali jenis ikan, lebih banyak daripada ikan-ikan di Sungai Simpang Kapuas. Oleh karena itu, hasil tangkapan Tumenggung Marubai selalu lebih banyak daripada Bujang Beji.

Melihat hasil tangkapan Tumenggung Marubai, Bujang Beji merasa iri. Lalu, dia pun meracun ikan-ikan di kolamnya dengan tuba, yaitu sejenis akar tumbuhan hutan. 

Pada awalnya, ia mendapatkan ikan yang lebih banyak dari hasil tangkapan Tumenggung Marubai.

Namun, karena cara yang digunakan adalah dengan membunuh ikan-ikan tersebut dengan racun, lama-kelamaan jumlahnya menjadi berkurang.

Sementara itu, Tumenggung Marubai tetap mendapatkan banyak hasil tangkapannya, mengingat dia hanya mengambil ikan yang berukuran besar. Sedangkan yang berukuran kecil, akan kembali ke sungai, hingga menjadi besar terlebih dahulu.

Hal tersebut membuat sifat iri Bujang Beji menjadi semakin bergejolak, hingga melumpuhkan semua akal sehatnya.

Bujang Beji bermaksud menggunakan puncak Bukit Batu di Nanga Silat, untuk menyumbat Sungai Melawi, sehingga semua ikan akan menetap disana.  Dengan kesaktiannya, dia memotong puncak Bukit Batu tersebut dan membawanya menggunakan tujuh lembar daun ilalang.

Ketika sedang membawa bukit batu tersebut, tiba-tiba terdengar suara gadis-gadis sedang menertawakannya. Mereka adalah dewi-dewi di negeri khayangan. 

Ketika sampai di persimpangan antara Kapuas dan Malawi, Bujang Beji melihat ke atas, untuk melihat siapa yang menertawakannya. Tanpa sengaja, kakinya menginjak duri beracun hingga la melompat dan menjerit kesakitan. 

Akibatnya, tujuh lembar daun ilalang yang dipakainya terputus. Puncak bukit batu tersebut pun terjatuh di sebuah aliran sungai. 

Upaya Bujang Beji untuk menutup Sungai Melawi pun akhirnya gagal. Dia menjadi sangat marah kepada dewi-dewi khayangan yang menertawakannya.

Bujang Beji merencanakan untuk menggapai negeri khayangan, dengan menggunakan pohon kayu raksasa, yang ujungnya menjulang ke langit.

Sebelum memanjat pohon raksasa, Bujang Beji melakukan ritual. Caranya dengan memberi sesaji kepada para roh halus dan seluruh binatang, agar tidak mengganggu usahanya untuk mencapai negeri khayangan. 

Namun ternyata, ada dua jenis hewan yang lupa untuk diberikan sesaji, yaitu rayap dan beruang. Keduanya pun menjadi marah besar, dan berunding untuk menggagalkan usaha Bujang Beji.

Ketika Bujang Beji mulai memanjat pohon kumpang mambu, segerombolan rayap dan beruang menggerogoti pohon tersebut hingga terputus. Dia pun terhempas jatuh ke tanah, dan tewas seketika.

Dengan demikian, usaha Bujang Beji mencelakai dewi-dewi kahyangan telah gagal, dan Tumenggung Marubai pun terhindar dari niat jahatnya.

Pesan moral dari cerita ini adalah, jauhkan sifat iri. Karena pada akhirnya, akan merugikan diri sendiri.

4. Batu Menangis

legenda batu menangis cerita rakyat dari kalimantan barat

legenda batu menangis cerita rakyat dari kalimantan barat – foto liputan6.com

Darmi adalah seorang anak yatim. Sejak ayahnya meninggal, ibunya harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tidak heran, jika ibunya  tampak lebih tua dari usianya. 

Berbeda dengan Darmi yang cantik, namun pemalas. Baginya yang paling penting adalah kecantikannya.

Dan Dia berharap, suatu saat akan ada pemuda kaya yang meminangnya, karena sudah bosan hidup miskin.

Namun karena dia telah durhaka terhadap ibunya, akhirnya Tuhan pun mengutuknya menjadi batu, hingga sang ibu menangis dan memeluk batu itu. 

Tampak olehnya, batu itu mengeluarkan air mata. Ya, itu adalah air mata penyesalan dari Darmi. Sekarang, batu itu terkenal dengan sebutan “Batu Menangis”.

Pesan moral dari cerita ini adalah, hormatilah ibumu, karena  telah mengandung dan membesarkanmu dengan penuh kasih sayang. 

5. Asal Mula Burung Ruai

Burung Ruai - Cerita Rakyat Dari Kalimantan Barat

Burung Ruai – Cerita Rakyat Dari Kalimantan Barat

Konon pada zaman dahulu terdapat sebuah kerajaan kecil yang terletak tidak jauh dari kaki Gunung Ruai dan Gunung Bawang. Pemimpin dari kerajaan tersebut, adalah seorang raja yang mempunyai tujuh orang putri. Raja yang baik ini harus merawat ketujuh putrinya, karena ibu mereka telah meninggal dunia sejak lama.

Sayangnya, dari ketujuh putri itu, hanya si bungsulah yang rajin dan baik hati. Sementara  keenam kakaknya yang lain, adalah gadis pemalas. Oleh karena itu, sang raja lebih sayang terhadap putri bungsunya. Melihat si Bungsu yang lebih mendapatkan kasih sayang, keenam gadis itu pun menjadi iri hati, dan membenci adiknya. 

Satu hari sang raja pergi meninggalkan istana, untuk suatu rapat penting. Dia pun berpesan kepada para puterinya, agar menjaga diri dan tidak melakukan perbuatan buruk.

Setelah ayah mereka pergi, keenam putri tersebut langsung menyuruh si bungsu untuk mengerjakan berbagai pekerjaan istana. Selain itu, mereka juga memerintahkan sang adik untuk melayani keenam kakaknya, atau mereka akan memukulnya.

Ketika sang raja tiba ke istana, dia melihat tubuh si bungsu yang sudah berwarna biru. Si bungsu harus berbohong kepada ayahnya, karena takut dengan semua kakaknya. 

Suatu hari, sang raja kembali memanggil ketujuh putrinya, karena dia harus pergi selama dua bulan ke negeri tetangga. Sang raja menunjuk si Bungsu sebagai pemimpin kerajaan selama ayahnya bepergian. 

Karena hal itu, keenam putrinya pun semakin membenci si bungsu hingga merencanakan untuk menyingkirkan adiknya sendiri. Mereka berniat untuk membawa si bungsu ke sebuah gua batu di kaki Gunung Ruai. 

Ketujuh putri itu lalu berangkat bersama menuju gua batu di kaki Gunung Ruai. Setibanya di pintu masuk gua, salah satu kakaknya menyuruh si bungsu untuk masuk terlebih dahulu.

Tanpa bertanya lebih jauh, dia langsung menuruti perintah kakak-kakaknya. Gadis ini berjalan masuk ke dalam gua tanpa pencahayaan sama sekali. Ketika si bungsu memanggil kakak-kakaknya, dirinya tidak mendengar adanya jawaban. Tanpa sepengetahuan si bungsu, keenam kakaknya telah pergi meninggalkannya.

Si bungsu yang tidak tahu jalan pulang hanya bisa duduk sambil menangis terisak – isak, di dalam gua batu yang gelap itu. Tak disangka, isakan tangisnya terdengar oleh seorang kakek tua penunggu gua batu itu.

Selanjutnya, kakek itu kemudian berjalan mendekati si bungsu, dan menceritakan kejadian sebenarnya.

Dia juga mencurahkan isi hatinya kepada sang kakek, tentang perlakuan keenam kakaknya. 

Setelah mendengar penuturannya,  sang kakek pun menaruh rasa iba pada si Bungsu. Dia berjanji akan membebaskannya dari penderitaan, namun harus berubah menjadi burung demi bisa mendapatkan kebahagiaan.

“Air matamu akan berubah menjadi telur-telur, yang kelak akan menemani keseharianmu,” ujar sang Kakek.

Si Bungsu hanya memandang laki-laki tua itu dengan penuh tanda tanya. Tak lama kemudian, bulir-bulir air mata si Bungsu benar-benar berubah menjadi telur berwarna putih. Tubuhnya juga lama-kelamaan berubah bentuk menjadi seekor burung.

Sang Kakek kemudian pergi menghilang, dan burung jelmaan dari si Bungsu, mengerami telur-telurnya hingga  menetas.

Telur-telur peninggalan sang Kakek, ternyata adalah burung-burung dengan jenis yang sama seperti dirinya.

Gerombolan burung itu kemudian pergi terbang ke luar dari gua batu dan menuju istana tempat tinggal si bungsu dulu.

Burung-burung itu bertengger di ranting pepohonan yang berada di dekat taman istana. Mereka memperhatikan gerak-gerik orang-orang di tempat itu.

Lalu, mata si bungsu tertuju ke arah istana, di mana kakak-kakaknya duduk di hadapan ayahnya dengan kepala menunduk.

Sang raja terlihat memarahi keenam kakaknya, yang telah dengan sengaja meninggalkan si bungsu di gua batu.

Si Bungsu yang telah menjadi burung itu, kemudian pergi terbang dari istana bersama teman-temannya ke hutan.

Masyarakat setempat lalu memberikan nama Ruai kepada burung-burung itu. 

Baca Juga:

Nah Sobat, demikian ulasan cerita kita kali ini, tentang 6 cerita rakyat dari Kalimantan Barat. Semoga dapat bermanfaat untuk kamu semua ya.

You may also like...

1 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x